Marga dan Garis Keturunan dalam Suku Gayo
AdatSejarahKeturunan

Marga dan Garis Keturunan dalam Suku Gayo

BG
Budayawan Gayo
2 menit baca

Bagi masyarakat Gayo, marga adalah sarana untuk melacak silsilah dan menjaga pengetahuan tentang leluhur. Namun, berbeda dengan beberapa suku lain yang menempatkan marga pada nama lengkap, masyarakat Gayo umumnya tidak mencantumkan marga mereka dalam kehidupan sehari-hari. Praktik penyebutan marga hanya dipertahankan oleh sebagian kecil masyarakat, khususnya di wilayah Bebesen, yang masih menilai penting untuk menjaga identitas keluarga melalui penabalan marga.

Marga bukan hanya nama keluarga, tetapi juga petunjuk mengenai dari mana seseorang berasal. Dengan mengetahui marga, orang Gayo bisa mengenali hubungan kekerabatan, menentukan aturan perkawinan, serta mengetahui hak dan kewajiban dalam komunitas adat. Hal ini penting terutama dalam urusan adat, pembagian harta warisan, dan penyelesaian perselisihan.

Klasifikasi Marga

Secara garis besar, marga di Gayo dikelompokkan ke dalam beberapa kategori utama. Berikut beberapa kelompok marga yang masih dikenal hingga kini:

  • Kelompok Marga Uken: Bukit (termasuk Bukit Eweh dan Bukit Lah), Jongok, Gunung, Kala
  • Kelompok Marga Toa: Ariga, Cibero, Melala, Munte, Tebe
  • Marga Lainnya: Alga, Linge, Gading, Uning, Reje Guru, Lot

Lima Marga Utama di Bebesen

Wilayah Bebesen dikenal memiliki lima marga utama atau yang disebut belah, yaitu Linge, Munte, Cebero, Tene, dan Melala. Kelima belah ini memiliki akar sejarah yang terhubung dengan suku Batak. Salah satu tokoh yang paling terkenal dari kelompok ini adalah Reje Linge, seorang pemimpin yang memerintah di sekitar aliran Sungai Jemer. Ia dikenal sebagai sosok yang menjalin hubungan diplomatis dengan kerabatnya di Tanah Karo. Dalam salah satu kisah yang diwariskan secara turun-temurun, Reje Linge pernah memberikan hadiah berupa pakaian dan senjata kepada rombongan Sibayak Lingga yang datang berkunjung. Tidak hanya itu, ia juga pernah mengirim bantuan untuk mendukung saudaranya di Tanah Karo ketika terjadi konflik.

Kisah-kisah seperti ini memperkuat pemahaman bahwa marga bukan sekadar label, melainkan simbol sejarah panjang dan ikatan sosial yang membentang lintas generasi. Hingga kini, pengetahuan tentang marga tetap dijaga oleh para tetua adat dan menjadi bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.

Bagikan Artikel Ini

BG

Ditulis oleh

Budayawan Gayo

Penulis dan kontributor di bahasagayo.com, berdedikasi untuk melestarikan dan membagikan kekayaan budaya Gayo.

Jelajahi Lebih Jauh

Kamus kami berisi ribuan entri kata dan istilah budaya. Jadilah bagian dari upaya pelestarian ini.